30.9.10

Asiknya Rencana Liburan yang Gagal


Weekend kemarin akhirnya saya berkesempatan liburan ke Bandung. Diluar dari kenyataan bahwa Bandung macetnya minta ampun dan hujan terus dan dingiiin banget, saya jalan-jalan ke tempat yang serunya ga akan saya temui dua kali! Asik deh ^^ Diantar oleh teman saya mengendarai motor, dan diluar rencana-rencana yang semuanya ga terlaksana gara-gara hujan, teman saya selalu punya inisiatif tujuan yang seru cuma buat saya cuci-cuci mata dan BELANJA :D

Kami mengunjungi Soemardja: A Design Weekend (The Designer’s Show & Tell) yang digelar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Saya udah lama banget kepingin dateng ke acara-acara kaya gini, ngeliat sesuatu yang baru, yang aneh, yang ga pernah saya pikir sebelumnya. Sebenernya di acara tersebut saya punya kesempatan ngedengerin semua peserta mempresentasikan hasil karyanya. Tapi saya hanya sempat mendengarkan Mufti dan Tarlen dari Vitarlenology aja. Mba Tarlen membuat banyak sekali notebook yang bunding-nya dilakukan dengan tangan. Saya suka banget sama semua notebook-nya, dan Mba Tarlen semanget banget ngejelasin teknik pembuatan notebook tersebut yang saya pikir, ya ampun, ternyata ga terlalu ribet juga, tapi ya ga mudah juga sih, apalagi pemilihan bahan yang digunakan ga sembarangan dan bener-bener dipikirin kualitasnya, alat-alat tusuk kertasnya juga sempet ditunjukin sama dia lho, baik banget ya? Ada banyak notebook dengan sampul berbahan kain bercorak yang lucu-lucu, bahan suede, kertas yang diprint foto hasil jepretan Mba Tarlen pribadi (yang kereeeen semua! Dan saya beli satu akhirnya, saya selalu suka karya dengan sentuhan personal apalagi yang ada cerita dibaliknya), ada juga sampul notebook yang dari majalah (dengan pemilihan gambar yang ciamik juga dong), dari floppy disc, juga dari papan Bingo (yang katanya pemberian Ika Vantiani). Saya bener-bener terinspirasi untuk bikin sesuatu juga deh. Ya yang paling mudah, kolase dulu deh :D oke kan tuh?
Kalo Mufti (yang ngenalin diri ke saya sebagai Amenk), dia illustrator yang gambar-gambarnya yaolooh kocak banget deh, atau lebih tepatnya, dangduuut banget! Kalo kamu pernah merhatiin stiker-stiker angkot dengan gambar orang-orang ato bunga-bunga ga jelas, atau stensilan dan komik Indonesia tahun 70-an sampe 80-an (kata Mufti sih, saya ga pernah tau soalnya), ya gambar-gambarnya kaya gitu deh. Kalo ngeliat gambar-gambarnya rasanya campur-campur antara ‘mengganggu’, menghoror a la film Susana, geuleuh, ngga banget, tapi juga bikin ketawa. Ampun deh Mufti. Itu dia kenapa Mufti diundang sama penyelenggara, dia punya twist yang khas banget Indonesia. Iya sih, saya setuju banget tuh, di luar negeri kayanya ga ada karya yang begini. Dan menurut teman saya yang kenal Mufti, orangnya juga punya rasa yang sama dengan karya-karyanya, bikin orang ketawa terus oleh joke yang dia buat. Oke lah Mufti, saya pengen banget punya merchandise kaos atau tas kanvas dengan print hasil karya kamu ya nanti, tapi saya mesti ngumpulin keberanian dulu, soalnya Mufti tega banget deh sama desainnya. Saya emang ga ngerti banget sih kalo itu adalah SENI. Tapi kalo saya pake kaos dengan gambar mas-mas kumisan yang lagi ngejilat perempuan yang lagi ngiler dengan caption “Sedot Kobra”, kayanya saya mesti bener-bener berani deh. Ya ampun Mufti *geleng-geleng kepala* Eh mungkin bakal saya pake kalau ada gig-nya A Stone A ya? (ini saya tau nama A Stone A –bandnya Mufti- darimana datengnya jadi pengen ketawa mulu inih yaolooh!) you can catch him at devianart and please do follow his twitter @amenkcoy, I mean really, he is insane!


Karena Bandung masih hujan terus, setelah nyasar cari warung kopi trus ngopi-ngopi sebentar, saya ngabisin waktu berkeliling melihat-lihat meja desainer lain, here we go, saya mendatangi Fold Magazine, Sorcery (lampu berdiri dengan kaki burung), Annisa Fardha (Lampu dinding dari bahan kulit), Kandura Keramik, Denge (Kampanye mendengarkan diri sendiri dengan cara menutup telinga kita menggunakan daun yang dilinting), Ivan Christianto (Interior dari bahan daur ulang), byo, Nuri Fatima (tas dan aksesoris berhias kumpulan kain perca yang disusun secara acak tapi kereeen), Karisma Prawira (desain interior kamar mandi yang bagi saya cukup gelap dan ganjil) dan yang terakhir saya lupaa banget siapa, karena terlambat mendengarkan presentasinya di awal saya datang, seorang perempuan yang membuat lampu dengan bentuk segi banyak, apa ya namanya? Dan hanya bisa menyala bila lampu itu bertemu dengan medan magnet yang tepat dengan lampu lainnya. Keren deh, saya kurang nangkep juga detilnya, tapi di sebelah mejanya ada lampu taman bertuliskan Taman Menteng (Jakarta), mungkin dia juga yang mendesain lampu di Taman Menteng tersebut, sayang banget saya ga sempet tanya-tanya. Sayang banget juga saya ga inget semua partisipan disana, maaf yaa.

Tempat yang asik selanjutnya yaitu toko alat tulis kantor. Saya cukup terharu juga, teman saya itu betul-betul menganggap serius waktu saya bilang tempat jualan ATK itu surga bagi saya. Meski belum pernah saya temui Toko ATK sehangat dan se-vintage Toko ABC di Surya Kencana Bogor, saya cukup betah berlama-lama di toko sekitar ITB itu, hampiiir aja saya belanja segala. Tapi saya ga bisa tahan kalau ngga membawa pulang pulpen tinta pink (saya belum punya kok), gelpen hitam (kali ini saya beli yang murah lho), dan Hole Puncher (yang di rumah rusak sebelah, beneran!). Puas di sana, saya menjemput pizza crispy dari Warung Pasta untuk dibawa ke Omuniuum.
Omuniuum merupakan salah satu tempat impian kalau kamu menginginkan tempat baca dengan dikelilingi karya seni dari seniman lokal, buku-buku buruan yang jarang punya dan bagus punya. Saya kalap juga sama beberapa buku anak berilustrasi dan membeli satu juga akhirnya, seken, karya Brian Wildsmith berjudul Animals to Count. I’m glad that I finally purchased it and took it home, saya jatuh cinta dengan gaya Mr. Wildsmith menghadirkan beberapa jenis hewan untuk dihitung. Tidak seperti buku anak lain yang sengaja membuat hewan-hewan itu terlihat ada berapa, namun beliau memberikan sentuhan natural, bagaimana hewan-hewan tersebut dapat ditemukan di alam dan sedang apa, dan juga ada sedikit twist teka-teki dalam ilustrasinya. Muah muah! I looove it. Those ideas….
Saya kenalan dengan teman-teman baru di Omuniuum, Bandung hujan terus dan orang-orang ini menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol lucu, saya lebih sering ngedengerin aja karena saya ga ngerti banget sama apa yang mereka bahas. Saya juga disuruh ngebaca kartu terus, seperti meramal, tapi bukan soal masa depan, lebih ke masa sekarang. Saya sih nganggep becanda aja, buat seneng-seneng aja kok. Dan hari itu diakhiri dengan makan indomi di warung Pak Moess. Ya ampun, itu sudah lewat tengah malam dan gerimis ngga juga berhenti, jadi aja saya kedinginan terus di jalan.
Besoknya, hujan lagi, jadi saya baru bisa sarapan di waktu makan siang. Saya makan Soto kari ayam dan teman saya memilih Kupat tahu di jalan Cicendo, enak lho dua-duanya, kalo sempet kesana cobain deh, terjangkau dan porsinya banyaak, saya cuma mampu ngabisin yang setengah porsi aja.
Nah segitu deh jalan-jalan saya di Bandung, lain kali saya bakal nyempetin diri ke museum Nyoman Nuarta. Masih ngidam :)

27.9.10

The Day


Hancur lebur.
Semuanya terlihat berantakan. Tidak sesuai tempatnya. Menyebalkan.
Hari itu lagi-lagi saya mengalami pertentangan yang tak perlu terjadi seharusnya. Sudah berkali-kali ini terjadi dan sepertinya tak ada satupun yang mampu belajar dari yang lalu. Ga ada yang sudi bergerak masuk ke zona seberang, hanya berpandang-pandangan menantang. Melangkah kalau berani!! Buktikan kalau kamu benar! Jangan harap kamu siap dengan resiko yang nantinya belum tentu kamu sanggup menanggungnya!
Mendidih sampai ke ujung kepala. Batas-batas di ujung jari lebam dengan geram yang berdesak mau meledak tanpa ada satupun yang mau mengalah untuk padam. Tak sudi padam. Marah ini membakarku. Jangan suruh aku diam!
Namun, aku toh terdiam. Sengaja membiarkan marah ini bermain bergumul-gumul di dalam aliran darah. Memaksa otot-otot yang mengeras untuk menikmati marah ini. Menunggu napas-napas pendek terbuang lagi. Toh aku terdiam. Mata ini pernah melihat, melihat jari, melihat napas, melihat segala yang menjadi batas…liar tak terkendali. Marah. Saya tak mau lagi marah, meski dorongannya meluaskan ruang dada, merambat ke kepala, mengunci suara kecil itu jauh terperangkap lalu lemah, yang menjadi liar dan liar dan liar, menari-nari di ujung batas-batas jari dan tanpa ampun menyihir otot-otot keras tadi, tunduk pada perannya. Menghancurkan.
Saya toh masih terdiam. Menunggu reda itu datang. Satu persatu melewati titik kulminasinya. Menyurut, menggelincir, mendingin, melemah, mengendur, mereda. Saya akhirnya tau apa yang harus saya lakukan. Karena marah ini akan tersulut lagi bila saya tidak segera keluar dari zona ini. Betapa sulitnya menahan sesuatu yang menyenangkan. Karena marah itu menyenangkan untuk dibiarkan lepas. Karena marah itu melegakan semua tensi secara instan. Namun marah selalu dan selalu tutup mata pada waktu dan pada kasih sayang. Tak peduli apakah waktu akan menggantinya dengan tidur nyenyak, atau kah waktu akan menanamnya menjadi energi untuk menggerakkan yang lain. Dan marah tak mungkin peduli apa kah kasih sayang akan merasuknya, menembus membran-membran ketidaknyamanannya untuk nantinya menyimpan benih ketenangan. Tidak mungkin. Marah tak mungkin mengerti, dan tak mau beranjak sendiri untuk mengerti. Dan marah lah yang tertawa belakangan pada kata maaf, memainkan kata itu untuk bersiap disalahgunakan. Marah lah yang membuat kita mencari-cari pembenaran di balik kata maaf. Marah lah yang menipu kita bahwa akan selalu ada maaf yang menyembuhkan luka karenanya. Padahal kita tau, maaf selalu membelai kepala dan hati kita disaat kita berani memutuskan untuk tak membiarkan marah merusak. Maaf lah yang peduli pada kita, yang akan menjawab “ya!” ketika kita bertanya “apakah boleh saya berdamai dengan diri saya sendiri?”. Maaf lah yang rela kita pergunakan untuk menjadi senjata disaat kita memaksa maaf itu diterima, atau menjadi tameng di saat kerusakan itu sudah terjadi. Maaf rela melakukannya. Seharusnya saya malu. Malu pada diri sendiri yang tak sudi bertanya pada maaf. Karena pada saat itu, marah lah yang paling membela suara hati saya, kelihatannya.
Saya tau, saya harus membiarkan marah ini mengutuk saya dari dalam, saya biarkan dia menggelayut di ruang hati saya, saya bawa dulu ia kemana-mana, asal jangan sampai ia menghancurkan lagi. Dia selalu menghancurkan saya. Dia nyangkut di celah antara hati, denyut yang naik-turun, ruang kata, dan sela-sela gigi yang gemeretak. Dia masih ada. Dan suara kecil selalu mengingatkan, meski lemah, ada satu misi yang harus saya cari sekarang untuk nantinya dijalani. Sebentuk Ikhlas. Yang saya tak tau ia berwajah seperti apa.
Amarah menanti kesempatannya untuk bergerumul lagi. Sembari saya berjalan, biar lelah otot ini dan tak mampu mengeraskan hati saya. Biar terganti pikir saya melihat hal-hal yang berbeda di perjalanan. Saya memutuskan untuk pergi keluar. Belajar menikmati berdesakan di kereta, belajar menikmati waspada di tengah kerumunan stasiun, belajar menikmati perjalanan tanpa rencana, dan belajar menikmati prosesnya. Toh menikmati hal-hal sepele itu jadi sesuatu yang berat juga, karena pikiran ini selalu dan selalu tertarik lagi pada kejadian sebelumnya. Lagi dan lagi, terus saja begitu.
Di kereta orang-orang banyak yang tidur, dan rata-rata mereka laki-laki, muda, tua, tertidur. Banyak ibu-ibu yang berdiri terlihat kepingin duduk, bergelantungan mencoba menahan beban tubuh sendiri disaat kereta berjalan berguncang-guncang. :) Hahaha, satu hal yang ternyata bisa saya nikmati. Saya pilih berdiri terus meski ada kesempatan sekali untuk duduk, yang dipandang aneh oleh semua orang, “kenapa cewe ini ga mau duduk sih?”. Saya kan tadi bilang, saya mau badan ini lelah, biar tidak jadi marah. Saya mau liat keluar jendela, dan berkesempatan melihat pemandangan landscape yang luas di antara stasiun bojong gede dengan cilebut. Yang memberi tau saya (lagi-lagi bisa juga saya nikmatin), bahwa hati itu seharusnya belajar untuk menjadi luas. Meski susah. Dan waktu itu memang susah banget. Jadi saya menertawakan diri saya lagi, karena si preacher di dalam saya ini jadi kelihatan terlalu mau dianggap benar. Dan ia mungin ngambek karena saya secara sadar ga mau belajar meluaskan hati. "Apa pula itu?" Kata suara hati saya bercanda. Sampai di kota yang semrawut dengan angkotnya ini, saya menemukan banyak lagi hal-hal yang membuat saya tertawa, betapa sifat manusiawi itu lucu dan sekaligus ironis. Biar si preacher mengarang-ngarang humor-humor satir untuk saya nikmati sendiri sambil terus berjalan kaki.
Tanpa diminta. Si marah menciut nyalinya. Ngambek di dasar jelaga, tempat ia seharusnya berada, biar bila sekali tersulut, dia hitam kelam dan menggoda saya tanpa ampun. Tapi itu nanti saja, ada saatnya. Biarin aja lah.
Saya tak tau apa itu ikhlas. Mudah-mudahan dia mampir pada hari-hari lain dan memberi tau saya, bahwa saya dulu pernah marah karena ini-itu. Bahwa saya bisa belajar dari waktu, dari kasih sayang pada diri saya sendiri dan memaafkan diri saya dari kerusakan yang terlanjur terjadi…..... Ternyata hidup ini cuma untuk saya. Saya ketemu teman-teman, berbagi cerita di sore gerah di teras rumahnya, muter-muter kota ini sambil melawan kantuk karena cuaca gerah tapi betul-betul menekan titik kantuk saya. Jangan tidur, saya mau menikmati hari ini yang sedetik-semenit berlalu terus. Saya biar si marah ngambek, saya biar si sedih tidur, saya berbohong, pura-pura hepi untuk meredam kata-kata si marah keluar dari ruang bercelah tadi. Saya mempersilahkan senyum menghangatkan hati, mengendurkan otot keras tadi. Reda sudah. Semesta memang bekerja seperti yang kita minta dalam doa, doa yang lugas, doa yang bukan didasari takut, doa yang merelakan apapun resiko di masa depan, kita berani menghadapnya di atas kaki kita sendiri.
Dan saya tidur nyenyak di malam hari